[AL-ISLAM Edisi: 421] Kita masih terus disuguhi informasi melalui media televisi tentang antrean masyarakat yang berjuang memperoleh beberapa liter minyak tanah. Pada saat yang sama, konversi (pengalihan) minyak tanah ke gas juga tidak berjalan mulus. Saat ini, gas 3 kg yang diperuntukkan bagi masyarakat sebagai hasil dari konversi, harganya terus melejit. Di beberapa daerah ada yang sudah mencapai Rp 18 ribu pertabung. Bahkan untuk gas yang 12 kg, harganya sudah berkisar Rp 80 ribu-100 ribu pertabung. Selain harganya yang terus merangkak naik, pasokan gas juga akhir-akhir ini bermasalah. Wajar jika, selain harganya sangat mahal, sebagian masyarakat juga kesulitan untuk mendapatkan gas.
Konversi (pengalihan) minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat dirasakan tidak efisien dan menimbulkan masalah karena beberapa alasan: Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan dengan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji karena elpiji dijual pertabung. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas. Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibandingkan dengan minyak tanah. Karena itu, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan konversi tersebut. Ketiga, minyak dan gas mulai menghilang di pasaran. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi sehingga masyarakat tak sanggup membelinya. Di beberapa daerah harga minyak tanah ada yang menembus Rp 8 ribu-12 ribu/liter, dan harga gas 3 kg berkisar Rp 15 ribu-18/tabung. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar sebesar itu jelas sangat memberatkan. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji jelas bermasalah.
Jika alasannya untuk mengurangi subsidi dan memanfaatkan gas produksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan energi nasional, mengapa Pemerintah tidak mengkonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD, yang memakai solar) dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG)? Konversi dari PLTD ke PLTG bisa dilakukan dengan menambah alat converter di mesin-mesin pembangkit listrik. Bahkan sebagian mesin di PLTD bisa dioperasikan dengan solar ataupun gas. Saat ini, misalnya, akibat pemakaian solar, subsidi Pemerintah untuk PLN mencapai Rp 25 triliun. Jika memakai gas, subsidi itu nyaris nol dan Pemerintah bisa mengkonversi subsidi tersebut untuk membangun pusat-pusat pembangkit listrik di wilayah-wilayah lain yang kekurangan pasokan listrik.
Secara nasional, misalnya, PLN hanya memasok listrik 54 persen dari kebutuhan penduduk Indonesia. Ini artinya, jika prioritas konversi itu diberikan kepada PLN dulu, niscaya hal itu akan banyak membantu meningkatkan perekonomian masyarakat. Studi yang dilakukan Japan International Cooperation Agency di wilayah lereng Gunung Halimun, Jawa Barat, menunjukkan tingkat perkembangan perekonomian masyarakat akibat masuknya jaringan listrik di pedesaan mencapai lebih dari 30 persen. Ini terjadi karena listrik tidak hanya menerangi jalan, tetapi juga menjadikan masyarakat bisa mengikuti acara radio, TV, dan lain-lain sehingga membuka wawasan mereka dan mengerti akses pasar untuk menjual produk-produk hasil buminya.
Konversi: Alat Pembenaran Eksploitasi Gas
Sebenarnya konversi minyak tanah ke elpiji merupakan pembenaran atas eksploitasi gas secara besar-besaran yang berorientasi pada globalisasi pasar bebas dan liberaliasi ekonomi. Kebijakan konversi ini hanyalah upaya Pemerintah untuk mempercepat laju investasi para pemilik modal perusahaan-perusahaan swasta nasional maupun asing untuk menguras sumber energi migas yang ada di Indonesia. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa negara telah menjadi alat pihak pebisnis energi untuk memperoleh keuntungan, ketimbang untuk kesejahteraan rakyatnya.
Di sisi lain, pemangkasan subsidi minyak digunakan untuk membayar utang kepada negara donor gara-gara resep yang diberikan oleh IMF dan Bank Dunia sejak Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997-1999 sehingga membuat negeri ini terlilit utang ribuan trilliun rupiah. Ironisnya, proyek-proyek industri ekstraktif beserta turunannya, yang notabene dibiayai dari utang, dikuasai oleh perusahan-perusahaan swasta. Dalam menjalankan proyek itu perusahaan tersebut berkolaborasi dengan perusahaan multinasional (MNC) atau asing. Misal: PT Bakrie Pipe Industries (BPI) memenangkan tender pengadaan pipa senilai US$12,4 juta untuk proyek penyaluran gas dari Pantai Utara Jawa ke PLTGU Muara Karang yang dilaksanakan Beyond Petroleum. Sebelumnya BPI memasok pipa untuk proyek migas skala besar seperti yang dibangun Caltex Pacific Indonesia, Conoco, Pertamina dan masih banyak lagi. Sebagian besar proyek-proyek yang ditawarkan dalam Infrastruktur Project 17-18 Januari tahun 2005 adalah proyek pemipaan gas untuk mendistribusikan gas ke luar negeri.
Mengapa resep yang salah ini digunakan terus? Tidak lain untuk mengamankan mata rantai penghubung kepentingan operasi modal internasional di Indonesia. Hal ini seirama dengan UU No.22/2001 yang memberikan akses sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk menguasai migas Indonesia; mulai dari hulu (eksplorasi dan ekspolitasi) hingga hilir (pengolahan, penampungan, distribusi dan pengecerannya).
Asing Menguasai Sekitar 90% Ladang Migas
Meski migas hakikatnya milik rakyat, kenyataannya 85% ladang migas dikuasai pebisnis asing. Semua sumber gas bumi dengan cadangan besar juga telah dikuasai modal asing. Ada 28 Blok lapangan Migas di Jatim, yang 90%-nya dikuasai oleh korporasi. Blok Cepu dikuasasi Exxon. Blok Pangkah di Kabupaten Gresik dikuasai Amerada Hess. Di Perairan Sampang Madura dikuasai Santos Oyong Australia. Di Tuban-Bojonegoro-Lamongan dan Gresik dikuasasi Petrochina. Dll.
Pada tahun 2000 keuntungan yang diraih Exxon mencapai US $ 210 miliar. Ironisnya, hingga januari 2000 tercatat 59.192 kepala keluarga di Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Pidie tergolong prasejahtera (baca: sangat miskin). Hasil survei Pendataan Indeks Kependudukan Terbaru (PIKB) BPS Jatim tahun 2003, bahwa daerah yang kaya sumberdaya alam migas penduduknya banyak yang miskin. Kabupaten Sumenep yang kaya dengan migas, penduduk miskinnya nomor dua se-Jatim. Kabupaten Bojonegoro yang telah ditetapkan kandungan 1,2 miliar barel gas dan minyak 600 miliar barel, masyarakatnya miskin nomor empat se-Jatim.
Yang lebih ironis, di tengah mahal dan langkanya gas di dalam negeri, selama ini ternyata Indonesia mengekspor gas ke luar negeri dengan dengan harga yang super murah. Ini terutama terkait dengan kontrak penjual gas Tangguh ke Cina yang diteken pada masa Presiden Megawati. Kontrak penjualan tersebut—dengan harga flat 3,8 dolar/ mmbtu selama 25 tahun masa kontrak, padahal harga di pasaran internasional saat ini 20 dolar AS—menurut Wapres Yusuf Kalla, berpotensi merugikan negara sebesar Rp 750 triliun (Kompas.com, 29/8/2008). Memang, saat ini Pemerintahan SBY-JK sedang melakukan negosiasi ulang. Namun, jelas hal itu belum menyelesaikan masalah jika pasokan gas di dalam negeri kurang dan harganya tetap mahal sehingga sulit dijangkau rakyat kebanyakan.
Solusi Praktis
Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah praktis yang bisa ditempuh Pemerintah: Pertama: Memfokuskan pelayanan migas di dalam negeri semata-mata untuk kepentingan rakyat, bukan fokus pada ekspor. Kalaupun harus ekspor, jelas itu harus dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan dengan harga yang semurah mungkin. Kedua: Melakukan negosiasi ulang seluruh kontrak migas dengan pihak swasta/asing, yang nyata-nyata telah merugikan negara. Ketiga: Memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam (migas, emas, batubara, dan lainnya) yang sangat melimpah itu, yang hakikatnya adalah milik seluruh rakyat. Sumberdaya alam tersebut harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan justru dijual atau diserahkan pengelolaannya kepada swasta, baik asing maupun domestik.
Karena itu, langkah yang paling real dan rasional saat ini adalah, negara wajib mengambil-alih kembali kepemilikan serta pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di sektor energi, dari tangan para pemilik modal dan menghentikan kontrak-kontrak yang telah terlanjur diberikan kepada korporasi, bukan malah memprivatisasinya. Negara wajib menjadikan energi sebagai sumber kekayaan untuk mensejahterakan masyarakat dan tetap memberikan energi murah kepada rakyat.
Lebih dari itu, untuk mengakhiri penderitaan rakyat akibat dari permasalahan energi di atas, negara harus berani menerapkan syariah Islam—yang notabene bersumber dari Allah, Pencipta manusia dan alam ini—untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam, terutama di sektor energi. Syariah Islam jelas telah mewajibkan agar pengelolaan dan distribusi atas sumberdaya alam yang menguasasi hajat hidup orang banyak berada di bawah kekuasaan negara demi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Apalagi sumberdaya alam yang menguasasi hajat hidup orang banyak itu memang milik rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air dan api (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Khatimah
Akhirnya, kami tidak pernah bosan untuk mengingatkan seluruh rakyat Indonesia, termasuk para pejabat dan para wakil rakyat, bahwa sesungguhnya negeri ini tidaklah akan bisa keluar dari krisis yang membelenggu dan tidak akan mampu membebaskan diri dari segala kelemahan kecuali bila di negeri ini diterapkan syariah Islam secara kaffah. Jika tidak, selamanya negeri ini akan terus didera kesulitan demi kesulitan. Allah SWT mengingatkan:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (syariah), dia berhak mendapatkan kehidupan yang sempit, dan kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
Terakhir, kami mengingatkan Pemerintah akan sabda Nabi saw.:
«الَلَّهُمَّ مَنْ وُلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُق عَلَيْهِ»
Ya Allah, siapa saja yang menjadi pengatur urusan umatku, kemudian ia membebani mereka, maka bebanilah dia (HR Muslim).