THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Rabu, 27 Mei 2009

Bangga Indonesia Negara Kaya SDA Tapi ko Miskin? tanya knapa....

Banyak dan sering sekali saya mendengar atau membaca keluhan orang mengenai keadaan ekonomi Indonesia yang dirasa makin memburuk. Harga barang kebutuhan meningkat, penghasilan dirasa kurang, harga minyak dan listrik meningkat, sementara RI kaya dengan SDA melimpah.

Siapa kambing hitamnya? Mulai dari Pemerintah, kapitalis asing, IMF, Worldbank, bankir pengemplang BLBI, Suharto alm., sampai Yahudi.

Saya cuma pengen menuliskan sedikit informasi dan opini dari perspektif yang agak berbeda. Tampaknya tidak bisa panjang2 dan sangat gamblang, mengingat berbagai keterbatasan. Mari mulai dari pernyataan2 yang umum kita dengar:

1. Negara RI kaya SDA mengapa kita kalah dengan negara lain yang tidak sekaya kita? Misalnya Malaysia dan China.

2. Migas kita habis disedot asing, pemerintah kita bodoh dan menghamba pada asing.

3. Minyak yang dihasilkan mengapa dijual ke LN, kenapa tidak kita konsumsi sendiri semua sehingga harga BBM bisa sangat murah?

4. Jangan menaikkan harga BBM, tetapi berhematlah. Jangan memberi BLT tetapi beri layanan pendidikan dan kesehatan gratis dan pekerjaan padat karya untuk masyarakat.

Saya coba memberikan perspektif yang mungkin agak berbeda:

1. Negara kita kaya SDA? Produksi minyak RI kira2 1,1 juta barrel per hari, Malaysia 750 ribu barrel per hari. Memang lebih banyak Indonesia. Tapi lihat jumlah penduduk, penduduk RI > 230 juta sedangkan Malaysia cuma berpenduduk 27 juta. Kalo minyak ini dibagi rata ke semua penduduk, maka 1000 orang Indonesia mendapat 4,6 barrel sedangkan 1000 orang Malaysia mendapat 27,7 barrel atau sekitar 8x lipat jatahnya orang Indonesia.

Berapakah produksi minyak Indonesia di dunia? Ini saya ambil dari spreadsheet saya: produksi thn 2006 adalah 1.3% dari total produksi dunia, rata2 produksi untuk periode 1997-2006 = 1,6%, periode 1988-1996 = 1,9%, dan periode 1978-1987 = 1,8%. Di kawasan Asia, China yang memproduksi minyak paling tinggi, pada tahun 2006 sekitar 4,7% dari total produksi dunia. Indonesia memproduksi 1,3% dan kita sudah merasa bahwa kita yang paling melimpah minyaknya?

Ada hal lain yang merupakan biaya yang mengurangi manfaat netto pendapatan negara dari SDA: penyebaran penduduk yang tidak merata, geografis Indonesia yang cukup sulit, kekurangan modal dalam negeri untuk mengelola sendiri, budaya KKN, dan sbg (silahkan pikir sendiri hehehehe). Setelah demokratisasi, ada biaya tambahan lagi yang sangat lumayan: demokrasi dan otonomi daerah.

Benarkah kita makin miskin? Atau kita merasa makin miskin? Jika anda tidak fakir benwit, silahkan lihat perbandingan ini: http://tiny*url.com/6op4uf

2. Migas kita disedot pihak asing? Well, ini tricky. Di satu sisi, pasti tiap perusahaan yang berinvest dan berbisnis tidak mau rugi. Di sisi lain, investasi migas itu sangat risky. High risk high gain. Bisnis minyak bisa menderita loss puluhan juta dollar. Bisa pula untung ratusan juta dollar. Dan yang jelas harus punya modal banyak atau terpercaya untuk dipinjami modal.

Nah, jujur saja, inilah kelemahan Indonesia. Kita ngga punya uang atau cukup dipercaya untuk dipinjami uang dalam jumlah besar dan memutarnya di bisnis beresiko seperti ini. Dapat dipahami sebenarnya, saat kita baru mulai membangun adalah awal tahun 70an. Kita punya modal SDM dan pengalaman yang terlalu sedikit pula. Infrastruktur keuangan, penjaminan, manajemen resiko dsb yang dimiliki Indonesia masih sangat minim. Apa pilihan Pak Harto saat itu? Undang investor asing. Pertamina yang pegang kuasa pertambangan. Tapi anda tahu sendiri, bagaimanakah Pertamina itu dahulu, jadi bancakan penguasa dan kroninya. Di lain sisi, saya berandai2 apa yang dipikirkan Pak Harto saat itu? Ini negara baru mulai membangun, ada minyak, ada jutaan rakyat miskin, ada jutaan rakyat buta huruf, ledakan penduduk adalah ancaman nyata, ketidakstabilan akan membuat negara ini mundur lagi dan tidak mulai2 untuk membangun…

So, (ini masih berandai2) biarlah Pertamina jadi bancakan politis. Demi membuat tentara patuh dan mengamankan kestabilan negara. Demi memberi makan rakyat dengan subsidi. Demi membiayai program pendidikan dasar dan KB untuk mengontrol jumlah penduduk. Demi membuat sandiwara demokrasi Pancasila yang melanggengkan kekuasaanya.

Dan RI membangun. Pelita I dan selanjutnya berjalan. Korupsi di sana sini. Tetapi tetesan uang korupsi itu dinikmati cukup banyak kalangan, dengan kadarnya masing2 tentunya. Lingkaran dalam mendapat kue besar, lingkaran terluar menerima tetesan. Yayasan2 yang didirikan Pak Harto dan keluarga dan Golkar meneteskan uang ini ke ponpes, ormas2 keagamaan, panti asuhan, sekolah2, kelompencapir, nelayan, dsb. Uang yang bisa dipilih untuk dibelanjakan secara efisien di investasi publik jangka menengah dan panjang, atau dibelanjakan secara KKN plus sosialis di keperluan jangka pendek yang populis. Dan Pak Harto sudah memilih. Dan rakyat tampaknya bahagia….

Kembali ke bisnis minyak… saat kita terjaga dari mimpi subsidi dan zona kenyamanan ala Orba, tiba2 kita menuntut Pertamina menjadi sekuat CNOOC atau Petronas, tiba2 kita menggugat uang bancakan dulu… uang yang diakui atau tidak menyumbang atas kestabilan negara yang baru belajar membangun ini. Jika selama ini Pertamina hanya jadi ajang mainan dan ATM, bagaimanakah tiba2 kita mengharap bahwa ia punya modal (uang, SDM, dan sistem) untuk berkompetisi dengan perusahaan minyak lainnya? Bagaimanakah kita tiba2 mengharap bahwa ia bisa reborn dan menjadi pemain yang kompetitif dan efisien?

Jangan lupa, selain berharap bahwa Pertamina menjadi perusahaan kompetitif (baca: naturenya perusahaan swasta), kita juga disaat yang sama berharap bahwa Pertamina bisa menjadi sinterklas. Memproduksi minyak dan membagi2kan dengan rakyat. Dua sifat yang sangat bertolak belakang. Mengharap keuntungan pada kantong yang dibolongi.

Kontrak dengan perusahaan asing, sebenarnya bukanlah skim yang berat sebelah. Bisnis migas itu bisnis global. Jika kita merasa dirugikan, kita bisa cari pemain lain. Apakah kita terlalu bodoh membuat skim bagi hasil ini? IMHO, sama sekali tidak. Sekali lagi ini adalah bisnis. If you don’t like it, leave it. Find another one… if you can

Perusahaan2 MNC beroperasi bukan cuma di Indonesia. Mereka ada di negara2 Arab, Afrika, Amerika Latin, dsb. Mereka tentu punya data komprehensif yang membandingkan situasi skim yang ditawarkan masing2 pemerintah. Keputusan untuk go or no go itu sudah dianalisis dan memperhitungkan resiko. Jika Indonesia menawarkan lahan yang belum tentu ada minyak ekonomisnya tapi minta skim yang semua keuntungan lari ke Indonesia sedangkan resiko ditanggung investor, siapa yang mau? Buktinya banyak. Beberapa kali tawaran lelang blok2 eksplorasi di Indonesia tidak laku.

Jika kita mengecam keberadaan perusahaan MNC di Indonesia sebagai lintah darat, pernahkah kita berpikir dari sisi lainnya? Bahwa Pertamina juga berusaha mendapatkan kontrak di negara2 asing? Bahwa China pun berbisnis minyak dengan Iran. Bisnis ini mengejar profit. Jika berinvestasi di Mars bisa mendapatkan probabilitas profit yang tinggi, maka perusahaan dari negara manapun yang punya modal akan mau melakukannya.

Jika kita meminta pemerintah menasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, pernahkah kita terpikirkan bahwa bagaimana seandainya Pertamina dinasionalisasi di Iran atau di Libya? Bagaimana seandainya anda yang sudah membeli saham perusahaan X tiba2 saham anda diambil paksa oleh pemerintah Z? Adilkah?

0 komentar: