THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Rabu, 13 Mei 2009

Pengelolaan Migas Harus Bersama-sama Antara Pusat dan Daerah


Fraksi-PKS Online: Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur agar Minyak dan Gas (Migas) di provinsi ini dikelola secara bersama-sama antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat Nangroe Aceh Darussalam (NAD) lebih leluasa mengoptimalkan potensi migas mereka untuk kepentingan daerah.

"Undang-undang Pemerintahan Aceh menghindari ketidakadilan pengelolaan migas di masa lalu, di mana masyarakat setempat justru kekurangan pasokan gas karena diekspor ke luar," kata Anggota Komisi VII DPR RI asal Aceh Andi Salahuddin di Jakarta, Senin (9/10).

Dengan undang-undang nomor 11/2006 tersebut, jelas Andi, pengelolaan migas di Aceh tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Segala bentuk kontrak kerjasama dalam pengelolaan migas, produksi dan masalah bagi hasil harus dengan persetujuan Gubernur Aceh. Gubernur pun harus mendapat persetujuan dari DPRD tingkat I di Aceh. Karenanya akan ada BP Migas Aceh yang terdiri dari perwakilan Pemerintah Pusat dan Aceh sendiri.

Pengelolaan migas di masa lalu, papar politisi PKS ini, sangat tidak berpihak kepada masyarakat Aceh. Dalam kasus PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) contohnya, sudah sekitar tiga tahun perusahaan pupuk itu tidak dapat beroperasi karena tidak adanya gas yang dapat dipasok Pertamina. Pasalnya produksi gas yang dihasilkan PT Arun harus diekspor setelah adanya penandatanganan kontrak antara BP Migas dengan Cina. Hal yang sama pun akan terjadi pada PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dalam waktu dekat.

Penandatanganan kontrak sepihak oleh BP Migas tanpa sepengetahuan Pemerintah Aceh ini, menurut Andi, tidak hanya berdampak pada gulung tikarnya perusahaan pupuk. Masyarakat kecil di Aceh yang menggantungkan usahanya di sekitar pabrik turut menjadi korban. Tidak hanya itu, desa di sekitar pabrik menjadi gelap gulita akibat tidak beroperasinya generator yang mengaliri listrik untuk rumah-rumah di sana.

Hal yang sama juga akan terjadi pada PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dalam waktu dekat. Bila tidak segera ada pasokan gas, Oktober ini pabrik pupuk itu akan berhenti beroperasi. Kondisi ini sangat ironis, sebab kebutuhan gas PIM hanya sekitar 6 kargo atau tidak sampai 2 persen dari ekspor Arun per tahunnya.

Lebih lanjut Andi mengatakan, kondisi demikian berpotensi untuk memperuncing kekecewaan masyarakat Aceh. Mereka akan mudah terprovokasi untuk menentang jalannya perdamaian di Aceh. "Dengan undang-undang nomor 11 (tahun 2006) diharapkan hal seperti itu tidak terulang," tandasnya. (nis)

0 komentar: