THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Sabtu, 09 Mei 2009

Pengelolaan Migas Aceh dalam Perspektif UUPA

www.aernews.com/opini
oleh : Suardi Nur

"UUPA bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah," kata Agung Laksono, Ketua DPR RI (tempointeractive.com, 25/07/08). Namun, tidak dapat dipungkiri kalau UUPA lahir dari suatu proses politik yang tidak biasa (extraordinary law) melalui sebuah Memorandum of Understanding atau yang dikenal dengan MoU Helsinki.

UUPA merupakan hasil kesepakatan politik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI yang tidak hanya menyangkut sektor tata pemerintahan yang bersifat otonom, namun juga menyangkut sejumlah sektor lain yang biasanya diatur dalam undang-undang sektoral

Salah satu sektor yang sangat menarik untuk dikaji dan ditunggu implementasinya adalah menyangkut pengelolaan sumber daya alam khususnya migas. Kewenangan Pemerintah Aceh terhadap sektor ini diformulasikan dalam pasal 160 ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Pemerintah Aceh mempunyai wewenang untuk mengelola sumber daya alam (migas) Aceh dengan membentuk satu badan pelaksana yang ditetapkan bersama dengan pemerintah pusat. Penekanan pada kata “bersama” secara terminologi memberi pengertian bahwa Pemerintah Aceh hanya mempunyai kewenagan 50% sedangkan setengah lagi masih berada ditangan pemerintah pusat.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sudah sejauh mana implementasi dari undang-undang ini diimplementasikan dalam pengelolaan migas di Aceh? Setelah dua tahun sejak disahkan pada sidang Paripurna tanggal 11 Agustus 2006 implementasi khususnya dalam pengelolaan migas Aceh masih nol besar, terhambatnya implementasi ini karena hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang akan menjadi acuan operasional di lapangan dan acuan dalam merancang Qanun Pengelolaan Migas.

Sebenarnya Pemerintah Aceh sendiri telah mengambil inisiatif yang sangat baik untuk mempercepat lahirnya PP yang berkaitan dengan UUPA di sektor Migas. Pemerintah Aceh akan segera membentuk Tim Advokasi Migas yang terdiri dari ahli migas, ekonomi dan hukum. Tim ini bertugas merancang dan menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) migas Aceh untuk mempercepat keluarnya PP migas Aceh. Pada akhir Desember 2007 tim ini telah berhasil menyusun satu draft Rancangan Pengelolaan Migas Aceh yang kemudian diserahkan kepada Mendagri untuk dikaji dan ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah.

Melalui PP ini nantinya diharapkan ada suatu penjabaran yang lebih mendetil terhadap pembagian kewenagan di sektor migas antara pemerintah pusat dan Aceh. Terminologi “bersama” yang temuat dalam Pasal 160 UUPA tidak lagi menimbulkan ambiguitas dalam implementasi nantinya.

Pengelolaan Ideal Migas Aceh

Sebelum melihat pegelolaan migas Aceh dalam perspektif UUPA, ada baiknya kita melihat bagaimana kebijakan pengelolaan migas di Indonesia. Saat ini, wewenang pengelolaan sumberdaya alam migas sepenuhnya berada di Pusat sesuai dengan UU No. 22 tahun 2001. Undang-undang ini snagat pro kepada korporatokrasi yang lebih banyak merugikan pemerintah. Dalam UU ini pemerintah daerah tidak memiliki kewengan dalam pengelolaan migas. Pada sektor Hulu (eksplorasi dan eksploitasi), kewenangan pemerintah pusat dijalankan oleh satu badan pelaksana yang dibentuk dengan undang-undang yang disebut BP Migas sedangkan disektor Hilir kewenagan ini dipangku oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

Selama ini daerah penghasil migas seperti Riau, Aceh, dan daerah lainnya hanya diundang empat kali setahun untuk mendengarkan pembagian hasil penjualan (lifting) migas. Daerah penghasil tidak bisa mempertanyakan hasil lifting tersebut karena memang tidak punya data berapa ribu barel minyak yang setiap hari disedot dari lapangan-lapangan minyak mereka dan berapa MMSCF gas yang telah diekploitasi. Data ini hanya dimiliki oleh pemeintah pusat atau BP Migas. Satu badan yang selama ini menjadi penguasa tunggal dalam pengeksploitasian minyak dan gas di negara ini.

Sebenarnya apa yang hendak ingin dicapai Pemerintah Aceh setelah adanya UUPA dalam pengelolaan Migas? Berdasarkan draft inisiatif RPP Migas Aceh yang diajukan ke Pusat, tergambar dengan jelas keinginan Pemerintah Aceh untuk dapat telibat dalam pengelolaan sumberdaya alam migas. Pemerintah Aceh menginginkan adanya satu Badan Pengelola Migas Aceh tersendiri yang independen dari badan pengelola konvensional yang telah ada selama ini yaitu BP Migas.

Badan pengelola yang akan dibentuk ini secara struktur organisasi berada di bawah Pemerintah Aceh yang bertanggung-jawab kepada gubernur. Badan ini memiliki kewenagan dalam melakukan persiapan tender eksplorasi lapangan baru, pengawasan terhadap kontraktor migas yang beroperasi di wilayah Aceh serta penjualan dan kontrak penjualan minyak dan gas.

Selama ini semua aspek di atas adalah kewenangan pemerintah pusat termasuk untuk kontrak penjulan gas. Kontrak penjualan gas selama ini selalu memprioritaskan kebutuhan luar negeri sedangkan kebutuhan domestik selalu terbaikan. Hal ini telah menimpa industri-industri di Aceh seperti PT. Aceh Asean Fertilizer, PT. Kertas Kraft Aceh, dan lain-lain. Industri tersebut terpaksa ditutup karena tidak mempunyai suplai gas yang cukup untuk berproduksi, bahkan PT. Pupuk Iskandar Muda sampai saat ini harus berjuang mencari gas-gas kelebihan ekspor dari Bontang.

Hal ini terjadi karena gas dari PT. Arun telah terikat kontrak dengan konsorsium perusahaan-perusahaan Jepang dan Korea. Sehingga gas yang dicairkan di PT. Arun hanya diprioritaskan untuk pemenuhan kontrak tersebut. Ini sangat tidak adil bagi Aceh mengingat selama ini industri-industri tersebut bergantung dari pasokan gas yang berasal dari PT. Arun. Di lain pihak, pemerintah pusat juga tidak mencari jalan dalam upaya pemenuhan gas.

Lahirnya RPP Migas Aceh diharapkan dapat mengatasi segala permasalahan di atas dan memberikan kejelasan kewenangan bersama antara Pusat dan Aceh dalam penentuan target produksi, administrasi dan sistem penjualan minyak dan gas, pengembalian biaya produksi (cost recovery) dan aloksasi pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi di wilayah darat dan laut Aceh.

Sesungguhnya perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang ideal masih lama, entah berapa pendekatan dan lobi tinggkat tinggi lagi yang harus dilakukan pemerintah Aceh untuk bisa ikut serta dalam pengelolaan sumberdaya alamnya sendiri. Keikhlasan dari Pemerintah Pusat untuk mengalihkan separuh kewenagannya di sektor Migas ke Pemerintah Aceh sangat diharapkan sehingga Aceh dapat segera mengejar ketertinggalannya dan kesejahteraan di Aceh dapat segera terwujud.

0 komentar: