THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Kamis, 14 Mei 2009

Pemangkasan Bagi Hasil Migas Perlu Dipertimbangkan Matang

[BANDA ACEH] Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) meminta pemerintah pusat agar tidak memotong dana bagi hasil migas untuk NAD, sebab pemangkasan itu berdampak pada pembangunan daerah, yang baru saja bangkit dari keterpurukan akibat konflik berkepanjangan dan musibah bencana alam tsunami.

"Semestinya, jika harga migas di pasaran dunia naik, jumlah penerimaan Aceh langsung bertambah, tidak sebaliknya," kata Wakil Gubernur NAD, Muhammad Nazar kepada SP, Senin (17/3) siang di Banda Aceh.

Menurutnya, saat ini saya Aceh hanya dapat 70 persen dana yang bersumber dari hasil migas, sebab penerimaan menurun pada saat gas Aceh telah menyusut. "Kalau dipoto9ng lagi, akan makin kecil," katanya.

Dia meminta agar dalam mengambil kebijakan terhadap Aceh, pemerintah pusat harus konsultasi dulu dengan pemerintah setempat, ahar bisa dibahas bersama-sama. Hal itu juga penting menghindari tudingan dari rakyat bahwa pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.

:Pemerintah Aceh sendiri dalam membangun berbagai keterpurukan pascakonflik dan bencana alam tsunami, memelukan dana yang sangat besar, apalagi banyak rakyat Aceh masih hidup dibawah garis kemiskinan," katanya.

Untuk itu, perlu dibuat program untuk mensejahtrakan mereka, salah satu sumber agaran diambil dari pembagian hasil. "Semestinya naiknya harga migas dunia langsung bisa berdampak pada rakyat, karena pendapatan Aceh bertambah dari kenaikan harga migas dunia," katanya.

Di tempat terspisah, Ketua DPR Aceh, Said Fuat Zakaria juga berharap agar pemerintah pusat tidak memangkas dana hasil migas untuk Aceh. Dewan saat ini masih menggodok APBD Aceh diharapkan bulan depan semua tuntas.

Sementara itu, Staf Ahli Gubernur Papua, Agus Sumulu mengatakan, pemangkasan dana hasil bagi migas untuk daerah penghasil sebenarnya menunjukkan sikap inkonsistensi dari pemerintah pusat terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dalam Pasal 34, Bagian 3 disebutkan, bagi hasil sumber daya alam minyak bumi sebesar 70 persen, dan Pertambangan Gas sebesar 70 persen. "Pemerintah sebaiknya melaksanakan hal itu secara konsisten sesuai harga pasaran minyak dunia. Rakyat Papua masih tetap mengharapkan pembagian yang adil, karena selama 45 tahun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, tidak mendapatkan hak-haknya dalam pengelolaan sumber daya alam," katanya.

Kepala Bagian Humas Pemprov Riau, Surya Maulana mengatakan, rencana pemotongan dana alokasi umum (DAU) di beberapa provinsi, termasuk Riau, hendaknya dipertimbangkan lebih matang. Sampai saat ini, di Provinsi Riau ada tiga kabupaten yang dipotong DAU-nya, yaitu Siak, Rokan Hilir, dan Bengkalis.

Namun, berdasarkan hasil pembicaraan antara Gubernur Riau, HM Rusli Zainal dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, besar kemungkinan pemotongan DAU tersebut akan diperhitungkan secara lebih cermat. "Bahkan, akan diberikan dana alokasi khusus (DAK) sebagai gantinya jika terjadi pemotongan," ujar Surya, Senin (17/3) pagi.

Provinsi Riau merupakan salah satu penghasil minyak bumi yang terkemuka di Indonesia. Setiap tahun, dana yang mengalir dari hasil minyak bumi tersebut mencapai lebih dari Rp 60 triliun. Apalagi dengan harga minyak bumi yang semakin meningkat di dunia, sehingga jumlah devisa yang disetor makin besar.

Menurut Surya, beberapa kabupaten di Provinsi Riau saat ini sedang mengajukan permohonan untuk meninjau ulang pemotongan DAU, karena sangat berpengaruh terhadap pembangunan yang sedang dilaksanakan. Pemerintah kabupaten mengajukan persoalan ini ke pusat dan Gubernur Riau.

Pangkas

Sebelumnya, Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Mardiasmo di sela-sela acara pelatihan wartawan di Pondok Putri Duyung Ancol Jakarta, Sabtu (15/3) mengatakan, jika realisasi harga minyak lebih tinggi sebesar 130 persen dari asumsi harga minyak di APBN-P 2008, pemerintah akan memangkas dana bagi hasil minyak ke daerah.

"Kalau ada kenaikan harga minyak 130 persen dari asumsi APBNP 2008, maka kelebihannya akan kita capping. Tidak dibagi ke daerah," ujar Mardiasmo.

Sebagai ilustrasi, Mardiasmo memberi gambaran jika harga asumsi harga minyak di APBN hanya US$ 100 per barel dan ternyata realisasi harga minyak sebesar US$ 150 per barel, pemerintah pusat hanya membayarkan 130 persen dari realisasi harga minyak. Artinya, pemerintah hanya membayarkan dana bagi hasil (DBH) minyak sampai harga US$ 130 per barel. "Sisanya, US$ 20 per barel tidak kita bayarkan DBH-nya," ungkapnya.

Pemangkasan anggaran tersebut, dilakukan sebagai salah satu wujud sharing the pain yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah akibat tingginya harga minyak dunia. Apalagi, konsekuensi kenaikan harga minyak dunia tersebut mengakibatkan beban subsidi yang tinggi, hingga mencapai Rp 300 triliun.

Namun, Mardiasmo menambahkan, pihaknya masih melakukan kajian untuk mengetahui berapa besar potensi penghematan itu.

"Selain itu, untuk mengurangi beban pemerintah, kami juga menggantikan sebagian windfall migas daerah dengan instrumen surat berharga negara," tambahnya. Langkah penghematan lain selain memangkas DBH minyak, pemerintah juga memotong dana penyesuaian untuk pos anggaran sarana dan prasarana infrastruktur sebesar Rp 4,6 triliun. [MUL/GAB/147/D-10]

0 komentar: